Esensi Dan Sinkronisasi Pengaturan Mengenai Persetujuan Presiden Dalam Proses Pidana Anggota DPR, Hakim Agung, Hakim Konstitusi, Dan Anggota BPK
Abstract
The laws governing the House of Representatives, the Supreme Court, the Constitutional Court, and the Supreme Audit Board, each require the need for presidential approval in criminal proceedings against state officials in that institution. The public spotlight is more often directed at politicians by looking at the petition for judicial review submitted, even though the provision also applies to supreme judges, constitutional judges, and members of the Supreme Audit Board. The problem to be studied in this paper is what is the essence of the president's approval in the criminal process of members of the House of Representatives, supreme judge, constitutional judge, and members of the Supreme Audit Agency, as well as how to synchronize these arrangements. The essence of the president's approval was reviewed based on the opinion of the Constitutional Court stated in its decision, the history of the regulation in the law, and the reference to the norm in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Based on the results of the study, it is difficult to obtain certainty of the essence of the approval of the president, except in the context of maintaining the continuity of the wheels of government which is not appropriate if it is then carried out by giving authority to the president to give approval in criminal proceedings. The results of the study also found six points of synchronization problems. Based on the results of the study, three options are recommended, namely removing these provisions and looking for the options to establishing a forum previligiatum; regulate in separate laws, or be included as part of criminal procedural law.
Abstrak
Undang-undang yang mengatur Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan, masing-masing mensyaratkan perlunya persetujuan presiden dalam proses pidana terhadap pejabat negara yang berada di lembaga tersebut. Sorotan masyarakat lebih sering ditujukan kepada politisi. Hal ini terlihat dari permohonan uji materi yang diajukan, padahal ketentuan tersebut juga berlaku untuk hakim agung, hakim konstitusi, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Permasalahan yang ingin dikaji dalam tulisan ini adalah apa esensi persetujuan presiden dalam proses pidana anggota Dewan Perwakilan Rakyat, hakim agung, hakim konstitusi, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, serta bagaimana sinkronisasi pengaturan tersebut. Esensi persetujuan presiden dikaji berdasarkan pendapat MK yang tertuang dalam pertimbangan putusannya, sejarah pengaturan dalam undang-undang, dan rujukan norma tersebut di Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sinkronisasi pengaturan dilihat berdasarkan peristilahan, tindak pidana yang dikecualikan, dan pelaku penegakan hukum pidana. Berdasarkan hasil kajian, sulit mendapatkan kepastian esensi dari persetujuan presiden, kecuali dalam konteks untuk menjaga keberlangsungan roda pemerintahan yang itu pun tidak tepat apabila kemudian dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada presiden untuk memberikan persetujuan dalam proses pidana. Hasil kajian juga menemukan adanya 6 (enam) ketidaksinkronan pengaturan mengenai persetujuan presiden tersebut. Berdasarkan hasil kajian tersebut direkomendasikan 3 (tiga) opsi, yaitu menghapus ketentuan persetujuan presiden tersebut dan mengkaji kemungkinan pembentukan forum previligiatum; mengatur dalam undang-undang tersendiri, atau dimasukkan sebagai bagian dari undang-undang hukum acara pidana.
Keywords
Full Text:
PDFReferences
Jurnal dan Hasil Penelitian
Chandranegara, Ibnu Sina. “Penuangan Checks and Balances ke dalam Konstitusi”. Jurnal Konstitusi. Vol. 13. No. 3. September 2016.
Habibi, Nur. “Politieke Beslissing dalam Pemakzulan Presiden Republik Indonesia”. Jurnal Cita Hukum. Vol. 3. No. 2. Desember 2015.
Hantoro, Novianto M. “Klasifikasi Jabatan dalam Kelembagaan Negara: Permasalahan Kategori Pejabat Negara”. Jurnal Negara Hukum. Vol. 7. No. 2. November 2016.
Mulyani, Tri. “Izin Presiden untuk Melakukan Pemeriksaan terhadap Kepala Daerah yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi”. Tesis. Program Pasca-Sarjana Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. 2010.
Rantung, Bobby. “Kewenangan Presiden Dalam Memberikan Grasi Kepada Terpidana Mati Kasus Narkoba”. Lex Privatum. Vol. 4. No. 4. April 2016.
Saragih, Try Sarmedi. “Kewenangan Penyidik dalam Memanggil dan Memeriksa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang Diduga Melakukan Tindak Pidana”, diakses secara online dari http://e-journal.uajy.ac.id/11226/1/JURNAL.pdf pada 1 Agustus 2018.
Susilowati, W.M Hery. “Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 (Suatu Kajian Teoritis)”. Jurnal Perspektif. Vol. 9. No. 3. Ed. Juli 2003.
Yudanto, Dika dan Nourma Dewi. “Sinkronisasi Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dalam Penyelesaian Kasus Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Pemerintah di Indonesia”. Jurnal Serambi Hukum. Vol. 10. No. 02. Agustus 2016 - Januari 2017.
Buku
Akbar, Patrialis. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika. 2013.
Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca-Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2006.
Bahri, Zainul. Kamus Hukum. Bandung: Angkasa. 1994.
Effendy, Marwan. Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2005.
Sinamo, Nomensen. Hukum Administrasi Negara, Suatu Kajian Kritis tentang Birokrasi Negara. Jakarta: Permata Aksara. 2016.
Martosoewignjo, Sri Soemantri. Hukum Tata Negara Indonesia, Pemikiran dan Pandangan. Cetakan kedua. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2015.
Indrati, Maria Farida. et.all. Laporan Kompendium Bidang Hukum Perundang-Undangan. Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI. 2008.
Fadjar, Abdul Mukhtie. Sejarah, Elemen dan Tipe Negara Hukum. Malang: Setara Press. 2016.
Putusan Pengadilan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 125/PUU-XIII/2015 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Refbacks
- There are currently no refbacks.